RSS

Minggu, 07 Desember 2008

Rujukan dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah

Pengertian “Salaf“

Secara bahasa, Salaf berarti orang-orang yang mendahului kita, baik dari segi keilmuan, keimanan, keutamaan, maupun kebaikannya. Ibnul Manzhur berkata, “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu, baik orang tua maupun karib kerabatmu yang lebih tua dan utama darimu.”[1] Termasuk dalam pengertian ini apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kepada putrinya Fatimah az Zahrah:

“Sesungguhnya sebaik-baik Salaf bagimu adalah aku”[2]

Adapun yang dimaksud ’Salaf’ menurut istilah para ulama pada asalnya adalah para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian disertakan kepada mereka –dalam istilah tersebut- generasi sesudah mereka yang mengikuti jejak mereka [3]. Sedangkan menurut tinjauan waktu, maka ’Salaf’ maksudnya adalah generasi-generasi terbaik yang patut diteladani dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan keutamaannya oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya:

”sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian sesudahnya lagi.”[4]

Namun, makna ’Salaf’ menurut tinjauan waktu ini masih belum cukup, karena kita melihat kemunculan firqah-firqah sesat dan bid’ah-bid’ah pada masa-masa tersebut, sehingga orang yang hidup pada masa tersebut tidak cukup dikatakan bahwa dia di atas manhaj Salaf sampai diketahui bahwa dia sejalan dengan para sahabat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, para ulama menambahkan dengan istilah ” As Salaf Ash Shalih” (generasi Salaf yang saleh). Pada perkembanagn selanjutnya istilah Salaf dinisbatkan kepada ’orang-orang yang senantiasa menjaga aqidah dan manhaj hidupnya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya Radhiallahu ’anhum sebelum terjadi perpecahan dan perselisihan’, yaitu dengan munculnya beberapa macam firqah (kelompok islam sempalan).[5]

Kewajiban Merujuk kepada Pemahaman Salaf

Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya. Namun kenyataan dilapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya. Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh menyelisihi mereka? Jawabannya adalah para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.

Dalil-Dalil Bahwa Pemahaman Salaf Wajib Menjadi Rujukan[6]

Beberapa dalil di bawah ini menunjukan bahwa pemahaman Salaf wajib menjadi rujukan umat islam dalam memahami agamanya.

1. Alloh Subhanahu wata’ala berfirman:

”Orang-orang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Alloh ridha kepada mereka; dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang didalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah :100)

Dalam ayat diatas Alloh Subhanahu wata’ala memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Alloh sebagaimana yang didapat oleh generasi Salaf. Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

2. Alloh Subhanahu wata’ala berfirman:

”Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Alloh. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran: 110)

Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wata’ala menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para sahabat, generasi Salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tanpa perantara. Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran. Alloh Subhanahu wata’ala juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang seluruh yang mungkar. Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.

3. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

”Sebaik-baik manusia adalah genersiku; kemudian generasi sesudahnya; kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksiannya salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”[7]

Apakah yang menjadi ukuran kebaikan pada diri mereka (tiga generasi Salaf) dalam hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tersebut adalah warna kulit, bentuk tubuh, harta, atau yang sejenisnya?? Jelas bukan! Dan tidak diragukan lagi bahwa ukuran kebaikan yang dimaksud tidak lain adalah ketaqwaan hati dan amal saleh. Mengenai hal ini Alloh Subhanahu wata’ala berfirman,

”Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenali.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

”Sesungguhnya Alloh tidak melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Alloh hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” [8]

Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu, menceritakan bahwa Alloh telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para sahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Alloh menganugrahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Alloh dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Alloh [9]. Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.

4. Alloh Subhanahu wata’ala berfirman:

”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian,….” (Q.S. Al-Baqarah: 143)

Sebagaimana halnya kandungan ayat pada poin dua, walaupun sifat yang terkandung dalam ayat di atas adalah kaum muslimin secara umum, namun generasi Salaf masuk dalam barisan pertama yang mendapatkan gelar sifat tersebut. Mereka adalah generasi yang paling adil dan pilihan. Mereka adalah generasi utama umat ini. Mereka paling adil dalam berbuat, dalam berkata-kata, dan dalam berkehendak. Memang sangat pantaslah mereka dijadikan saksi atas seluruh umat. Persaksian mereka akan diterima di hadapan Alloh karena persaksian mereka berdasarkan ilmu dan kejujuran. Mengenai hal ini Alloh Subhanahu wata’ala berfirman,

”Dan sembahan-sembahan selain Alloh yang mereka sembah itu tidak dapat memberi pembelaan. (Orang-orang yang dapat memberikan pembelaan adalah) tidak lain orang yang bersaksi dengan benar (yaitu orang yang bertauhid) dan meyakini(nya).” (Q.S. Az-Zukhruf: 86)

Jika persaksian mereka diterima di hadapan Alloh, tentu tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya. Memang umat islam sudah bersepakat bahwa tidak ada generasi yang berpredikat adil secara mutlak kecuali para sahabat. Sehingga, berita mereka pasti diterima dan tidak perlu diteliti lagi kebenarannya. Dari situ jelaslah, bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi yang lain dalam memahami nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak dan jalan hidup mereka.

5. Alloh Subhanahu wata’ala berfirman:

”… dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Q.S. Luqman: 15)

Para sahabat Radhiallahu’anhum adalah orang-orang yang senantiasa kembali kepada Alloh, sehingga Alloh memberikan bimbingan kepada mereka bagaimana berkata dan beramal yang baik. Mengenai itu Alloh Subhanahu wata’ala berfirman,

”Dan orang-orang yang menjauhi thaghut [10] (yaitu) tidak menyembahnya dan mau kembali kepada Alloh, mereka mendapatkan kabar gembira; oleh sebab itu, sampaikanlah kabar tersebut kapada hamba-hamba-Ku, yang mendengar perkataan-perkataan lalu mengikuti mana yang paling baik di antara perkataan tersebut. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Alloh petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S Az-Zummar: 17-18)

Orang yang menelaah perjalanan hidup para sahabat pasti akan mengetahui bahwa seluruh sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut dimiliki oleh mereka. Jadi, memang sudah seharusnyalah kita mengikuti jejak mereka dalam memahami agama Alloh ini, baik dalam memahami Kitab-Nya maupun Sunnah Nabi-Nya Shallallahu’alaihi wasallam. Alloh mengancam orang yang tidak mau mengikuti jalan mereka dengan api neraka, sebagai mana tersebut dalam firman-Nya:

”Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan tidak mengikuti jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia dikuasai oleh kesesatan dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahannam. Padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa’: 115)

Dalam ayat tersebut, Alloh mengancam orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman. Yaitu, jalan para sahabat Radhiallahu’anhum –sebagai generasi pertama yang dimaksudkan dalam ayat tersebut- dan generasi sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syariat Alloh adalah wajib. Barang siapa yang berpaling dari jalan mereka, maka dia akan menuai kesesatan dan diancam dengan neraka Jahannam. Tidak ada jalan lain yang harus kita tempuh selain jalan kaum mukminin, sebagaimana tersebut dalam firman Alloh,

”Maka (Dzat yang demikian) itulah Alloh, Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada yang lain setelah kebenaran itu, kecuali kesesatan. Maka, mengapa kamu mau dipalingkan (dari kebenaran).” (Q.S. Yunus: 32)

Siapapun yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman pasti dia mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Siapa saja yang mau mengikuti jalan orang-orang beriman –jalan para sahabat Radhiallahu’anhum- jelas akan mendapat keselamatan. Jelaslah, pemahaman para sahabat Radhiallahu’anhum –sebagai generasi pertama- dalam memahami agama adalah menjadi rujukan bagi kita semuanya. Barang siapa yang berpaling darinya, maka sesungguhnya dia telah memilih kebengkokan dan kesempitan. Cukuplah neraka Jahannam sebagai balasan baginya; padahal Jahannam itu sejelek-jelek tempat kembali dan tempat tinggal -kita berlindung kepada Alloh darinya-.

6. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadits yang menyebutkan tentang perpecahan umat.

Dalam hadits tersebut memerintahkan kepada kita agar memegang teguh sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ Rasyidin. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

”Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada perikehidupanku dan perikehidupan Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku.”

Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan (sunnah) sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya Radhiallahu’anhum. Hal ini beliau tegaskan dalam sabdanya :

”Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti peri kehidupanku dan peri kehidupan para sahabatku.”

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa peri kehidupan para sahabat Radhiallahu’anhum adalah perikehidupan Khulafa’ Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat Radhiallahu’anhum –sebagai generasi Salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

Manhaj Salafi adalah Manhaj Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya Radhiallahu’anhum.

Berdasarkan dalil-dalil diatas jelaslah bahwa satu-satunya jalan keluar hanya terdapat pada manhaj Salaf. Lalu, siapakah diantara sekian banyak kelompok Islam itu yang benar-benar berpagang teguh kepada manhaj sahabat Radhiallahu’anhum? Jawabannya tidak lain adalah manhaj Salafi.

Jawaban tersebut disimpulkan dari dua hal berikut.

Pertama, paham-paham sesat seperti Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Murji’ah, Jahmiyah, Qadariyyah, Mu’tazilah, dan lain-lain muncul setelah masa kenabian dan masa Khulafa’ Rasyidin. Jadi, tidak mungkin menisbatkan bahwa jalan sahabat sama dengan jalan mereka, karena yang datang lebih dahulu tidak dinisbatkan kepada yang muncul belakangan, justru sebaliknya yang datang belakanganlah yang dinisbatkan kepada yang lebih awal. Dengan begitu, Islam itu adalah yang tidak seperti kelompok-kelompok sesat diatas.

Kedua, mereka yang masih sesuai asal mulanya yaitu sesuai manhaj sahabat secara nyata kita dapatkan. Tidak kita temukan satupun dari kelompok-kelompok Islam yang bermanhaj sahabat, kecuali Ahlu Sunnah dari pengikut Salafus Shalih Ahlul Hadits. Adapun selain mereka, maka tidak terbukti. Kelompok-kelompok tersebut sebagiannya meragukan keadilan sahabat, sebagian lagi mengkafirkan mereka, sebagian mengembalikan kepada akal masing-masing, bahkan sebagian meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah sama sekali. Maka bagaimana mungkin kelompok-kelompok tersebut dikatakan bermanhaj sahabat padahal jalan hidup mereka meninggalkan sahabat Radhiallahu’anhum?.[11]

Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar: